Layla  dan Qays (Majnun) adalah teman sekelas, 
dan sejak hari pertama mereka bertemu,  mereka sudah saling tertarik.  Bagi Layla dan Qays, sekolah  bukan lagi tempat untuk 
belajar-melainkan tempat pertemuan. Ketika 
guru mengajar, mereka saling bertatapan; dan  ketika tiba saatnya 
mencatat pelajaran, mereka malah saling menulis nama  satu sama lain di 
atas kertas. Dunia menjadi hanyalah Laya dan  Qays; mereka buta
 dan tuli terhadap yang lainnya.
Sedikit  demi sedikit, akhirnya semua 
orang mengetahui cinta mereka, dan  pergunjingan pun dimulai. Ketika 
orangtua Layla mendengar kasak-kusuk  tentang anak gadisnya, mereka 
melarang Layla pergi ke sekolah. Beban  malu bagi keluarga kepala suku 
tidak dapat ditahan.
Ketidakhadiran  Layla di ruang kelas 
membuat Qays menderita dan patah-hati. Dia  meninggalkan sekolah dan 
mulai berkelana di jalanan mencari kekasihnya,  sambil memanggil-panggil
 nama Layla. Qays membuat puisi untuk Layla dan  melantunkannya sambil 
berjalan. Dia tidak berbicara apa pun kecuali  tentang Layla, juga tidak
 mempedulikan orang lain kecuali ditanya  mengenai Layla. Orang-orang 
menertawakannya dan mengacungkan jari  kepadanya, sambil berkata, “Lihat
 dia-dia adalah majnun, si gila!”, dan  nama itu pun melekat padanya. 
Sepanjang  hari Majnun duduk di 
depan pondoknya, berbicara kepada air,  mengirimkan kelopak 
bunga liar bersama aliran air tersebut, yakin bahwa  sungai itu akan 
menyampaikan salam cintanya kepada Layla. Dia menyapa  dan meminta 
burung-burung untuk terbang memberitahu Layla bahwa dia  berada di 
dekatnya. Ia menghirup angin yang bertiup dari barat, karena  angin 
tersebut telah melalui desa Layla. Jika ada anjing tersesat dari  arah 
perkampungan Layla, Majnun akan memberinya makan, merawatnya, dan  
menyayangi  hewan tersebut seperti benda keramat, menghormatinya dan  
memeliharanya hingga anjing itu memilih untuk pergi. Apa pun yang  
berasal dari tempat kekasihnya berada dianggap sebagai kekasih.
Sejak  berhenti sekolah, Layla tidak 
berbuat apa-apa kecuali memikirkan Qays.  Anehnya, setiap kali dia 
mendengar burung berkicau lewat jendela atau  lewat tiupan angin yang 
lembut, dia menutup mata, berpikir bahwa dia  dapat mendengar suara Qays
 di dalam kicauan itu. Dia menangkap  kelopak-kelopak bunga yang dibawa 
angin atau aliran sungai, dan tahu  bahwa kelopak-kelopak itu berasal 
dari Qays. Tetapi ia tidak pernah  membicarakan cintanya dengan siapa 
pun, bahkan kepada sahabat  terdekatnya.
Pada  hari Majnun memasuki kamarnya, 
Layla telah lebih dahulu merasakan  kedatangan Majnun. Layla mengenakan 
gaun terbaiknya, baju panjang  berwarna biru kehijauan dari sutera. 
Rambutnya dibiarkan terurai, dan  dengan hati-hati disisir di sekeliling
 bahunya. Matanya diberi celak  bubuk hitam yang disebut surmeh,
 seperti kebiasaan kaum wanita di  Arab. Bibirnya diberi pemerah, dan 
pipinya yang kemerahan alami tampak  bersinar, menampakkan rasa 
senangnya. Dia duduk di depan pintu,  menunggu. Ketika Majnun masuk, 
Layla nyaris tidak mempercayai bahwa itu  benar-benar terjadi.
Salah  seorang pengurus rumah Layla 
memperhatikan keberadaan seorang perempuan  tak dikenal di luar pintu 
kamar majikannya. Kecurigaannya timbul, dia  lantas memberi tanda kepada
 salah seorang pengawal. Namun ketika ibu  Layla datang untuk 
menyelidik, Majnun dan teman-temannya sudah lama  pergi. Bagaimana pun, 
begitu orangtua Layla menanyai Layla, tidak suit  bagi mereka menebak 
apa yang telah terjadi. Kediaman Layla dan  kebahagian yang terpancar di
 matanya telah menceritakan semuanya.
Waktu  ayah Majnun mengetahui peristiwa 
yang terjadi di rumah Layla, dia  memutuskan melamar Layla untuk 
putranya. Ayah Majnun menyiapkan  rombongan pembawa hadiah dan 
membawanya ke desa Layla. Rombongan  tamu tersebut disambut dengan
 baik. Ayah Majnun yang memulai, 
 “Engkau  tahu betul, sahabatku, ada 
dua hal penting agar kita bahagia-yaitu cinta  dan harta. Putraku 
mencintai putrimu, dan aku bisa menjamin bahwa aku  akan memberi mereka 
nafkah yang cukup agar mereka hidup dengan nyaman.”
“Aku  tidak menentang Qays, dan aku 
percaya karena tidak diragukan lagi engkau  adalah orang yang 
terhormat, Meski demikian, engkau  tidak dapat 
menyalahkan aku bila bersikap agak hati-hati terhadap  putramu, semua 
orang telah mengetahui pola-tingkahnya yang sedikit  menyimpang. 
Pakaiannya saja kaya’  pengemis tuh. Pasti dia tidak pernah  mandi 
apalagi keramas selama berabad-abad. Hidupnya bersama binatang dan  
orang-orang terasing. Coba katakana padaku, sahabatku, andai engkau  
yang memiliki anak perempuan sedangkan aku berada sepertimu, apakah  
engkau akan memberikan putrimu kepada putraku yang gendeng ini?”
Ayah  Qays mati kutu. tapi dia tidak akan  hanya diam dan melihat putranya 
menghancurkan dirinya sendiri. Ketika  ayah Majnun kembali, dia 
mengirim pesan kepada putranya. Ia mengadakan  jamuan makan malam di 
mana gadis-gadis paling cantik diundang  menghadirinya. Di  dalam pesta itu Majnun cuma diam 
mematung dan mengabaikan para tamu. Dalam isak  tangisnya Majnun menuduh orangtua dan
 sahabat-sahabatnya sebagai  pemangsa jiwa cintanya yang keji dan 
bengis. Tersedu-sedulah Majnun di  pojok ruangan hingga akhirnya dia 
terjatuh di atas lantai tak sadarkan  diri.
Setelah  bencana itu, ayah Qays 
memutuskan untuk membawa Majnun berangkat  menunaikan ibadah haji ke 
Makkah, berharap Tuhan akan memberi Majnun  belas kasih-Nya, dan 
membebaskannya dari cinta yang meluluhkan dan  menghancurkan 
kepribadiannya itu. Setelah  berangkat haji, Majnun yang 
tidak ingin bertemu dengan penduduk desa  pergi ke gunung tandus, tanpa 
memberitahu seorang pun ke mana tujuannya.  Dia tidak kembali ke 
gubuknya, melainkan memilih reruntuhan bangunan  yang terpisah dari 
masyarakat, dan di situlah ia tinggal.
Suatu  hari, seorang lelaki yang 
kebetulan melewati reruntuhan bangunan  tersebut melihat ada orang yang 
aneh yang sedang duduk di salah satu  dinding yang sudah runtuh. Sang pengembara mendengarkan dengan seksama 
ketika Majnun menyanyikan  senandung pujiannya untuk Layla. Mereka 
berdua berbagi makanan yang  dibawa si pengembara. Setelah itu si 
pengembara pergi dan melanjutkan  perjalanannya.
Sementara itu untuk  mengekspresikan perasaan 
terdalamnya, Layla menulis sajak untuk  kekasihnya di atas kertas gores 
berukuran saku. Lalu, ketika dia  diperbolehkan berada di taman 
sendirian, ia akan menerbangkan  kertas-kertas itu bersama semilir 
angin. Penduduk desa yang menemukan  kertas berisi puisi itu akan 
menyerahkannya kepada Majnun. Dengan cara  itulah kedua pencinta 
tersebut berhubungan.
Salah  seorang pengunjung Majnun adalah 
seorang ksatria gagah yang bernama. ketika dia mengetahu keadaannya majnun ia 
bersumpah akan melakukan apa pun yang mungkin  dilakukannya untuk 
menyatukan kedua kekasih tersebut.
Lalu Abu  ‘Amr kembali ke kota asalnya lalu 
dengan geram mengumpulkan pasukannya.  Pasukan tentara itu berderap 
menuju desa Layla dan menyerang tanpa  ampun.Di  dalam medan pertempuran, Majnun 
berkeliaran dengan bebas di antara  prajurit, dan menghampiri sanak 
keluarga Layla yang terluka. Dia merawat  mereka dan berusaha semampunya
 mengobati luka mereka. Ketika Abu ‘Amr  menuntut penjelasan tentang apa
 tujuan Majnun yang membantu dan  bersekongkol dengan musuh, Majnun 
menjawab, “Orang-orang itu berasal  dari tanah kekasihku. Bagaimana 
mungkin mereka menjadi musuhku?”
Layla  kembali merana dalam kamar 
pingitannya yang sepi. Satu-satunya  kebahagiannya adalah berjalan-jalan
 di setaman bunganya. Suatu hari,  ketika dia sedang berjalan menuju 
taman bunganya, Ibn Salam, seorang  bangsawan yang kaya dan berkuasa, 
terpana oleh panah sekilas kerlingan  Layla dan langsung jatuh cinta. 
Tanpa menunda waktu dia segera mencari  ayah Layla. Dan ayah Layla menyetujui  pernikahan tersebut. Pernikahan  itu berlangsung cepat. 
Layla menjelaskan 
kepada suaminya bahwa dia tidak akan pernah  mencintainya. Secuil pun.
Ketika  berita pernikahan Layla sampai 
ke telinga Majnun, Majnun meraung-raung  selama berhari-hari dan 
menyanyikan lagu-lagu keperihan. Dengan  penuh ketulusan Majnun mengirim 
ucapan selamat atas pernikahan  kekasihnya: 
“Semoga seluruh kebahagiaan 
di dunia menjadi milikmu. Aku  hanya meminta satu hal sebagai orang yang
 mencintaimu-bahwa engkau akan  mengingat namaku, meski dikau memilih 
bersatu dengan orang lain. Jangan  pernah melupakan bahwa ada orang yang
 raganya, bahkan seandainya raga  itu hancur berkeping-keping, akan 
memanggil hanya satu nama, dan nama  itu adalah namamu, Layla.”
Sebagai  balasan, Layla mengirimkan 
anting-antingnya, symbol tradisional tentang  kesetiaan sejati. Di dalam
 surat yang menyertainya, dia menulis: 
“Aku  lupakan semuanya karena 
semua pikiranku hanya tertuju padamu. Aku telah  menyimpan cintaku 
begitu lama, tanpa mampu menceritakannya kepada orang  lain, sementara 
engkau meneriakkan cintamu ke seluruh penjuru dunia. Aku  terbakar di 
dalam, sedangkan engkau membakar sekelilingmu. Sekarang aku  harus tahan
 menghabiskan seluruh hidupku dengan seorang lelaki, padahal  seluruh 
jiwaku adalah milik lelaki lain. Katakan padaku, siapa di  antara kita 
yang lebih dibuat gila oleh cinta, engkau atau aku?”
Tahun  demi tahun berlalu, orangtua 
Majnun telah tiada.Sementara  di seberang kehidupan sana, 
Layla tetap setia kepada cintanya. Namun, kesehatannya 
semakin menurun karena dia tidak pernah lagi  merawat diri, mengabaikan 
makan dan melewatkan malam-malam tanpa waktu  istirahat yang cukup. 
Bagaimana dia dapat memperhatikan tubuhnya apabila  perhatiannya hanya 
tertuju pada Majnun? 
Akhirnya,  batuk kronis yang tidak bisa 
diobati dan sudah diderita Layla selama  berbulan-bulan, menyerangnya 
dengan hebat. Pada suatu malam musim 
gugur yang dingin, dengan mata terpaku pada  pintu, Layla meninggal 
dengan tenang sambil bergumam, “Majnun.”
Berita  kematian Layla segera tersebar 
ke mana-mana. Berita itu juga sampai  kepada Majnun. Ketika Majnun 
mendengarnya, ia pingsan di tengah-tengah  gurun selama berhari-hari. 
Waktu ia sadar dengan sendirinya, Majnun  berjalan menuju desa Layla. 
Dengan tenaga yang hanya cukup untuk  berjalan, dia menyeret tubuhnya di
 atas pasir. Majnun terus berjalan  tanpa henti hingga tiba di makam 
Layla di luar kota. Dia menangis  berhari-hari, dan ketika tidak ada 
cara lain untuk menghilangkan rasa  sakitnya, Majnun merebahkan 
kepalanya di atas kuburan Layla, lalu dengan  tenang melepaskan jiwanya.
Tubuh  Majnun tetap berada di atas 
kuburan Layla selama satu tahun. Pada hari  peringatan kematian Layla, 
teman-teman dan sanak keluarga Layla  menyambangi kuburan tersebut, dan 
mereka menemukan tubuh berbaring di  atas makam. Pasangan teman sekolah 
Layla mengenali tubuh itu, itu adalah  Majnun. Majnun kemudian dikubur 
di samping Layla. Kedua kekasih itu,  yang telah menyatu dalam 
keabadian, akhirnya juga bersatu.
Dikatakan  kemudian bahwa terkadang 
seorang Sufi mendapat mimpi di mana Majnun  muncul bersama Tuhan. Tuhan 
membelai Majnun dengan penuh kasih, dan  meminta Majnun duduk di 
samping-Nya. Kemudian Dia bertanya kepada  Majnun: “Apakah engkau tidak 
malu memanggil-Ku dengan nama Layla setelah  meminum anggur cinta-Ku?”
Sang  Sufi terbangun dalam kebingungan. 
Jika Majnun diperlakukan dengan begitu  penuh kasih oleh Tuhan, lalu 
bagaimana dengan Layla? Dan Tuhan langsung  memunculkan jawabannya dalam
 pikirannya: “Posisi Layla diangkat atas  semuanya, karena dia menyimpan
 rahasia-rahasia yang di dalamnya  tersembunyi Cinta.”
"Maka mencintailah dalam diam...
Jika dia bukan yang terbaik untukmu,
Cukuplah Allah yang tau segala rasamu...."
Wallahu'alambissawab. 



 

 
0 komentar:
Posting Komentar